(Robinson Edison Roga)
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sapi
Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat
memasok kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia
(Bandini, 1999). Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada
kualitas nutrien yang terkandung pada tiap bahan pakan yang dimakan. Pada
umumnya, kebutuhan nutrien bagi ternak sapi adalah energi berkisar 60 – 70%
“Total Digestible Nutrien” (TDN), protein kasar 12%, dan lemak 3 – 5% (Abidin,
2002). Akan tetapi selama musim kemarau pemanfaatan hijauan bernilai hayati
tinggi tersebut sulit terpenuhi, karena rumput yang tersedia sudah mengering
dilapangan yang disebut standinghay.
Pemanfaatan
Standinghay rumput kume (Andropogon timorensis) sebagai pakan
ternak sangat berarti sebagai sumber energi karena ketersediaanya yang melimpah
tiap tahun. Namun kualitasnya rendah ditandai kandungan Neural Diterjen Fiber
(NDF) sebesar 88,98%, protein kasar 2,56%, serat kasar 38,75%, dan nilai
kecernaan bahan kering serta bahan organik in
vitro nya rendah yaitu masing - masing sebesar 45,86% dan 48,69% (Hartati
dan Katipana, 2006). Disamping itu kandungan lemak, seng dan tembaga (Cu) juga
rendah masing – masing 1,90% dan 4,42% mg/kg BK dan 15 mg/kg (Hartati, dkk. 2007., Hartati dkk., 2009).
Oleh
sebab itu untuk meningkatkan kualitas dan nilai manfaat Standinghay rumput kume, para peneliti telah melakukan berbagai
teknologi salah satunya adalah teknologi amoniasi dengan urea, yang merupakan
teknologi yang mampu menyediakan nitrogen (N) untuk pertumbuhan mikroba rumen
bila pakan tersebut dikonsumsi ternak (Leng dkk., 1991).
Disamping
harus cukup tersedia karbohidrat sebagai sumber energi dan kerangka karbon (C)
dan N ternak ruminansia juga membutuhkan seng (Zn) yang berperan dalam berbagai
fungsi enzim yang ada hubungannya dengan metabolisme karbohidrat, degradasi
sistesis protein dan asam nukleat (NRC, 1976; Tillman, dkk.,1989). Berdasarkan
penelusuran pustaka oleh Larvor (1993) dalam
Hartati (1998) mengemukakan bahwa Zn merupakan mikro mineral esensial yang mempunyai
peranan penting dalam regulasi berbagai reaksi metabolisme dalam tubuh ternak.
Untuk optimalisasi fermentasi rumen, Hungate (1966) menyatakan bahwa
pertumbuhan mikroba membutuhkan Zn 130 – 220 mg/kg. Sementara Hartati dkk.
(2007) menyatakan bahwa penambahan 150 mg ZnSO4/kg BK Pakan Padat Gizi (PPG) mengandung minyak lemuru
1,5% dari BK konsentrat berpengaruh signifikan terhadap pertambahan berat badan
sapi bunting, akan tetapi pertambahan berat badan tertinggi sebesar 0,44
kg/hari masih dibawah potensi genetik sapi Bali.
Untuk
mencapai potensi genetik sapi Bali hartati, dkk. (2009) menduga masih
dibutuhkan mikromineral tembaga (Cu), mengingat peranannya sangat penting baik
terhadap proses fermentasi rumen, maupun dalam proses sistesis hemoglobin selanjutnya
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Menurut Mills, dkk. (1976) dalam Hartati dkk. (2009) bahwa
defisiensi Cu dapat menyebabkan berkurangnya kecepatan pertumbuhan. Akan tetapi
Cu oleh karena sulit diserap, maka perlu disediakan dalam bentuk organik yang
mempunyai nilai hayati tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Tanuwiria (2004)
bahwa ketersediaan hayati dalam bentuk Cu-proteinat (bentuk organik) lebih
tinggi dibandingkan dengan CuSO4 (bentuk anorganik) bagi anak sapi. Selanjutnya
hasil penelitian Hartati, dkk. (2009) menunjukkan bahwa kombinasi ZnSO4 dan
Zn-Cu Isoleusinat berpengaruh signifikan terhadap peningkatan proses fermentasi
dalam rumen dan kecernaan in vitro ransum
berbasis standinghay rumput kume
amoniasi.
Berdasarkan
uraian diatas maka telah dilakukan suatu penelitian yang berjudul “Pengaruh Suplementasi Zn-Sulfat Dan Zn-Cu
Isoleusinat dalam Ransum Berbasis Pakan
Lokal terhadap Konsumsi dan Pertambahan
Berat Badan Sapi Bali Jantan Muda”
Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui pengaruh suplementasi Zn-sulfat dan Zn-Cu Isoleusinat dalam ransum
berbasis pakan lokal terhadap konsumsi dan pertambahan berat badan sapi Bali
jantan muda.
Manfaat
penelitian adalah sebagai sumbangan informasi bagi petani peternak dan sebagai
informasi ilmiah dalam upaya perbaikan dan peningkatan produksi ternak sapi
Bali di NTT.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum
Ternak Sapi Bali
Sapi Bali merupakan keturunan
langsung dari banteng liar (Bos sondaicus)
yang telah mengalami domestikasi dan diternakkan secara murni di Pulau Bali.
Ternak sapi ini kemudian menyebar ke Pulau Lombok dan Pulau Timor, bahkan kini
telah tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia (Bandini, 1997).
Ciri-ciri yang spesifik dari sapi
Bali berukuran sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk dan kaki-kakinya ramping.
Kulitnya berwarna merah bata. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya
berwarna hitam. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih.
Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian
dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Pada
punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang
dari gumba hingga pangkal ekor (Bandini, 1997).
Sapi Bali jantan berwarna hitam
bila telah dewasa pada umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3
tahun, tetapi bila sapi jantan dikastrasi/dikebiri warna bulunya akan berubah
menjadi kehitaman
disebabkan pengaruh hormone testosterone (Payne dan Rollinson, 1973; Hardjosubroto
dan Astuti, 1993).
Di NTT menurut Belli et at. (2008) berat badan lahir anak
sapi rata-rata 16,0 kg dengan variasi 11,4 sampai dengan 21,5 kg. Berat
sapih berkisar antara 50 – 75 kg; untuk sapi jantan sebesar 75 – 87,6 kg dan
betina sebesar 72 – 77,9 kg. Berat umur
setahun berkisar antara 99,2-129,7 kg dimana sapi betina sebesar 121-133 kg dan
jantan sebesar 133-146 kg. Berat dewasa berkisar antara 211-303 kg untuk ternak
betina dan 337-494 kg untuk ternak jantan (Talib et al., 2003). Pertambahan berat badan ternak
sapi Bali dengan pakan yang baik dapat mencapai 0,7 kg/hari bahkan
mencapai 1 kg/hari untuk jantan dewasa
dan 0,3 - 0,4 kg/hari pada betina dewasa (Siregar 1996).
Standinghay
Rumput Kume (Androgen timorensis)
Secara umum rumput alam merupakan
sumber pakan utama bagi ternak ruminansia
khususnya sapi Bali dan ketergantungannya sangat tinggi sehingga
mempengaruhi produktifitas ternak. Salah satu jenis rumput yang tersebar luas
di NTT adalah rumput kume ( Andropogon
timorensis) dan produksi rumput ini sangat tinggi. Pada musim penghujan
ternak biasanya mengkonsumsi hijauan yang disukai serta memiliki kualitas yang
baik sedangkan rumput yang tidak dikonsumsi dibiarkan mengering di lapangan dan
jenis rumput yang mengering ini biasa disebut standinghay.
Standinghay
ini memiliki kualitas yang rendah dengan kandungan PK 2,56%, SK 38,75%,
(Hartati dan Katipana, 2006), lemak 1,90%, dan Zn 4,2 mg/BK (Hartati dkk.,
2007). Lebih lanjut Hartati dan Katipana (2006) menyatakan bahwa standinghay rumput kume memiliki sifat
keambaan yang tinggi (6,3 liter/kg) dan
daya serap air yang serta kelarutan rendah yaitu berturut-turut sebesar 5,1%
dan 21,59%. Tingginya keambaan menyebabkan makin berkurangnya jumlah ruang yang
dapat diisi oleh setiap kg hijauan dan rendahnya daya serap air menyebabkan
semakin kecil peluang mikroba rumen menembus masuk sel untuk memutuskan ikatan
selulosa dan hemilosa sehingga menyebabkan tingkat kelarutannya menjadi rendah.
Menurut Ranjhan (1981), hijauan
berkualitas rendah ini merupakan sumber energi potensial bagi ternak ruminansia
asalkan diberikan sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitasnya.
Diantaranya teknologi yang dapat dilakukan adalah pembuatan amoniasi rumput
kume serta penambahan Zn-Sulfat dan
Zn-Cu Isoleusinat. Proses amoniasi rumput kume ini mampu menyediakan
nitrogen untuk pertumbuhan mikroba rumen bila pakan tersebut dikonsumsi (Leng.,
dkk. 1991). Penambahan mineral Zn anorganik (ZnSO4) mampu menunjang pertumbuhan
mikroba rumen (Hartati dkk., 2007).
Pada ternak ruminansia, mikroba
rumen selain sebagai sumber protein utama bagi induk semang, mikroba rumen
sangat berperan dalam mencerna pakan. Snifen dan Robinson (1987) dalam Hartati., dkk. (2009) menyatakan
bahwa 40-80% dari kebutuhan asam amino
bagi ternak berasal dari mikroba. Oleh sebab itu, peningkatan populasi mikroba
terutama bakteri selulolitik didalam rumen menjadi sangat esensial bagi ternak
ruminansia karena enzim yang dihasilkan oleh bakteri tersebut sangat
berperanpun dalam mencerna serat pada pakan berkualitas rendah.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh
para peneliti untuk mengoptimalkan populasi mikroba dan salah satunya adalah
dengan pemberian Pakan Padat Gizi (PPG) mengandung minyak lemuru dengan
penambahan ZnSO4 sebagai sumber energi, protein, lemak dan Zn (Hartati. dkk.,
2007; 2009).
Mineral Zn dan
Cu
Berdasarkan penulusuran pustaka
oleh Larvor (1983) dalam Hartati
(1998) mengemukakan bahwa Zn merupakan salah satu jenis mikro mineral esensial
yang mempunyai peranan dalam regulasi berbagai reaksi metabolisme dalam tubuh
ternak. Seng juga merupakan salah satu mikro nutrien yang tidak beracun yang
tersebar merata dalam jaringan tubuh yang sangat penting bagi semua hewan,
karena terlibat dalam berbagai aktivitas enzim yang ada hubungannya dengan
metabolism karbohidrat, energi dan sintesa protein serta asam nukleat. Disamping itu Zn juga terlibat dalam enzim yang
berfungsi untuk transport CO2
dan karboksi peptidase yang ada hubungan dengan sekresi protease yang
dibutuhkan untuk pencernaan protein dalam usus (Tillman, dkk. 1989). Lebih
lanjut dinyatakan pula bahwa nilai retensi nitrogen dan nilai hayatinya
meningkat pada ternak yang mendapat ransum kecukupan Zn, sehingga nitrogen yang
digunakan oleh ternak sapi berdampak pada perbaikan pertumbuhan. Defisiensi Zn
dapat menimbulkan defisiensi nutrisi esensial seperti vitamin dan asam lemak
yang besar peranannya dalam proses penyerapan zat-zat makanan dan secara
keseluruhan akan tercermin pada terjadinya penurunan produktifitas ternak. Seng
(Zn) juga berperan dalam mempercepat sintesa protein oleh mikroba melalui
pengaktifan enzim-enzim mikroba. Seng diabsorbsi melalui permukaan mukosa
jaringan rumen, dan pada konsentrasi rendah (5–10 mg/ml ) Zn menstimulir
pertumbuhan ciliata rumen.
Penambahan Cu juga dapat
meningkatkan aktifitas bakteri dalam mencerna serat kasar dan Cu ini
dicampurkan dengan Zn, (Thalib. dkk, 2000). Selanjutnya juga dilaporkan bahwa
penambahan Zn dan Cu dapat meningkatkan produksi VFA. Penambahan Zn-Cu
proteinat kedalam ransum menurunkan NH3,
meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik, namun tidak berpengaruh
terhadap produksi VFA. Artinya Zn-Cu proteinat tahan terhadap degradasi oleh
mikroba rumen, tetapi dapat dihidrolisis oleh pepsin dipasca rumen (Tanuwiria,
2004). Sementara Hartati, dkk. (2009) melaporkan bahwa penambahan Zn-Cu
isoleusinat dengan konsentrasi 3000 ppm Zn dan 500 ppm Cu pada level 2 % dapat
mengoptimalkan proses fermentasi in vitro.
Produk yang dihasilkan disamping menjadi penyedia asam amino dan mineral Zn dan
Cu di pasca rumen juga diharapkan dapat menjadi sumber asam lemak bercabang
yang dibutuhkan dalam sintesis bakteri selulolitik, sehingga dapat mengoptimalkan
kecernaan serat didalam rumen.
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan merupakan faktor
terpenting yang mempengaruhi produktifitas ternak. Church (1999) menyatakan
bahwa konsumsi pakan pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh palatabilitas
pakan, daya cerna, waktu retensi pakan dalam rumen, ukuran tubuh ternak, jenis
kelamin, status fisiologis ternak dan lingkungan diantaranya yang sangat
berperan adalah nutrisi. Meskipun ternak ruminansia memiliki kapasitas rumen
yang besar, akan tetapi jumlah pakan yang dikonsumsi masih dibatasi oleh laju
kecernaan dan sisa makanan yang dapat dikeluarkan dari saluran pencernaan
(Tillman, dkk., 1989). Tingkat konsumsi pakan juga diketahui mempengaruhi laju
alir pakan yang menyebabkan rumen cepat menjadi kosong sehingga merangsang
konsumsi, sebaliknya peningkatan konsumsi dapat menaikan jumlah digesta yang
lolos ke retikulo omasal (Mc Donald et al.,
1988).
Kecukupan nutrisi bagi ternak dapat
mengoptimalkan pertumbuhan mikroorganisme dalam rumen. Seng dipasca rumen
sangat berperan dalam aktifitas enzym diantarannya enzym pencernaan, penyerapan
dan metabolisme energi (Larvor, 1993 dalam Hartati, 1998). Suplementasi ZnSO4
sampai level 150 mg/kg BK PPG dapat meningkatkan konsumsi BK ransum (Hartati,
dkk., 2007; 2009). Diharapkan pada penelitian ini dengan suplementasi kombinasi
ZnSO4 dan ZnCu-Isoleusinat dapat mengoptimalkan konsumsi ransum.
Pertambahan Berat Badan
Proses pertumbuhan ternak sapi
ditunjukan oleh adanya pertambahan berat badan atau ukuran tubuh. Secara umum
proses pertumbuhan ternak sapi merupakan hasil dari pertumbuhan bagian – bagian
tubuh yang berbeda-beda, diawali oleh dengan pertumbuhan rangka, otot-otot dan
terakhir lemak, dimana pertumbuhan otot berlangsung pada umur 1,5 tahun sampai
pada umur 2,5 tahun (Santosa, 1995). Proses pertumbuhan pada ternak sapi
dimulai sejak awal terjadinya pembuahan sampai dengan pedet itu lahir,
dilanjutkan hingga sampai dewasa (Soeparno, 1991). Menurut Pane (1991)
pertumbuhan biasanya dimulai perlahan-lahan kemudian mulai berlangsung lebih
cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau sama sekali berhenti sehingga
membentuk kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoid. Pertambahan berat badan
sapi ditentukan oleh berbagai fakor, terutama jenis sapi, jenis kelamin, umur,
ransum, dan teknik pengolahannya.
Pertambahan berat badan dihitung dengan
mengurangi berat badan akhir penelitian dengan berat badan awal penelitian.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
kandang sapi milik Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang. Waktu
penelitian ± selama 4 bulan, 15 Agustus 2010 sampai dengan 15 Desember 2010
yang terbagi dalam 4 minggu persiapan materi penelitian, 2 minggu penyesuaian
dan 10 minggu pengumpulan data.
Materi
Penelitian
Materi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah
a.
Ternak
Ternak
yang digunakan sebanyak 16 ekor sapi Bali jantan muda umur 1.5 - 2 tahun dengan
kisaran berat badan 93.0 – 180.5 kg; KK = 19.6%.
b.
Kandang
Kandang
individual sebanyak 16 unit yang dilengkapi dengan tempat makan dan air minum.
c.
Pakan dan Air minum
Pakan
yang diberikan yaitu standinghay rumput kume amoniasi, konsentrat berbasis
pakan lokal (jagung kuning, dedak halus, bungkil kelapa, minyak lemuru, garam,
premix) (Tabel.1), ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat sebagai suplemen. Air minum
diberikan ad libitum.
Tabel 1. Komposisi Formula Konsentrat
Jenis Bahan
Pakan
|
Komposisi Konsentrat
(%)
|
PK BP
(%)
|
TDN BP
(%)
|
PK Konsentrat
(%)
|
TDN Konsentrat
(%)
|
Jagung
kuning
|
46.25
|
10,00
|
91,00
|
4,63
|
42,09
|
Dedak
halus
|
20,50
|
10,89
|
66,00
|
2,23
|
13,53
|
Bungkil
kelapa
|
23,00
|
23,10
|
74,00
|
5,31
|
17,02
|
Tepung
ikan
|
8,00
|
61,20
|
69,00
|
4,90
|
5,52
|
Minyak
lemuru
|
1,50
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Garam
dapur
|
0,25
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Premiks
|
0,50
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Jumlah
|
17,07
|
78,16
|
Sumber : (Hartati., dkk., 2009)
Rumput
amoniasi diberikan ad libitum, didasarkan pada kemampuan mengkonsumsi rumput
selama periode adaptasi. Konsentrat diberikan dengan frekuensi 2 kali sehari
yaitu pagi dan siang hari sebelum diberi standinghay
rumput kume amoniasi yang diawali dengan pemberian mineral organik Zn-Cu
Isoleusinat dan ZnSO4 sampai habis. Pemberian air minum diberikan ad libitum
dan selalu diganti setiap hari.
d.
Peralatan
Peralatan
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah :
Ember,
sekop, sapu, timbangan elektrik, timbangan gantung, timbangan duduk, kantong
kresek dan karung. Penimbangan sapi menggunakan timbangan elektrik bermerek
Ruddweigt, dengan kepekaan 0,5 kg artinya timbangan ini dapat menimbang benda
yang beratnya minimal ≥ 0,5 kg dan daya tolerannya 10000 kg artinya timbangan
ini mampu memuat benda yang beratnya ≤ 10000 kg. Timbangan untuk amoniase
rumput kume menggunakan timbangan gantung dengan kepekaan 0,5 kg dan daya
tolerannya 25 kg. Timbangan konsentrat menggunakan timbangan duduk dengan
kepekaan 0,05 dan daya toleran 5 kg.
Prosedur Pembuatan Bahan Pakan Penelitian
1.
Prosedur pembuatan konsentrat.
Ø Penyiapan
bahan pakan untuk konsentrat (Tabel.1)
Ø Penyiapan
formula konsentrat mengandung minyak lemuru 1,5 % (Hartati, 1998).
Ø Pakan
di campur secara homogen.
Ø Pengambilan
sample untuk analisis proksimat Zn dan Cu.
2.
Proses pembuatan Standinghay rumput kume amoniasi (Soeyono, 2006).
Ø Standinghay
rumput kume dicacah dan ditimbang.
Ø Standinghay
yang sudah dicacah dimasukkan kedalam silo dan rumput ditambah urea (timbang 25
kg rumput dimasukkan kedalam silo. Urea dilarutkan dalam air dengan perbandingan urea dan air 1 kg urea :
10 liter air agar diperoleh kadar air 40%, kemudian secara merata percik urea yang
telah larut dalam air tersebut pada permukaan rumput setelah itu dipadatkan.
Ø Setelah
silo tersebut penuh, silo tersebut ditutup rapat dan diperam selama±3 miinggu.
Ø Setelah
± 3 dipanen ambil sampel untuk dilakukan analisis proksimat dan analisis kadar Zn da Cu.
3.
Proses pembuatan Zn-Cu Isoleusinat
(Hartati, dkk., 2009).
Mineral organik (Zn-Cu
Isoleusinat) dibuat melalui proses
fermentasi menggunakan media dari bahan lokal.
Cara
pembuatannya yaitu:
Ø Sepuluh
kantong plastik tahan panas masing- masing berisi 600 gram singkong segar yang
telah dipotong seperti dadu dicampurkan dengan larutan mineral ZnSO4 dan CuSO4
dengan konsentrasi larutan menggunakan 3000 ppm untuk Zn dan 500 ppm Cu
masing-masing 200 ml.
Ø Singkong
bermineral tersebut dikukus hingga masak.
Ø Sesudah
masak singkong diangkat, ditiriskan dan disimpan dalam wadah plastik.
Ø Setelah
dingin taburkan 0,5 gram ragi tape komersial di atasnya.
Ø Tambahkan
100 ppm asam amino isoleusin.
Ø Wadah
dibungkus kertas dan diinkubasikan selama 3 hari.
Ø Pada
hari ke empat Zn-Cu isoleusinat siap dipanen.
Ø Tambahkan
dedak halus sebagai carier dengan rasio 2:1 dari BK singkong bermineral hasil
fermentasi dan keringkan dalam oven pada suhu 40oC atau bila dalam
jumlah banyak dijemur di bawah sinar matahari ± 2 hari.
Ø Setelah
kering bahan digiling dan siap untuk digunakan dalam ransum.
Metode Penelitian
Percobaan
in vivo dilaksanakan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan empat ulangan.
Perlakuan yang
diuji 4 macam ransum adalah :
RO = Standinghay
rumput kume + konsentrat (60 : 40)
RI
= R0 + 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat + 1 % Zn-Cu isoleusinat (3000 ppm Zn dan
500 ppm Cu)/kg BK ransum).
R2
= R0 + 150 mg ZnSO4/kg BK
konsentrat + 2 % Zn-Cu isoleusinat (3000 ppm Zn dan 500 ppm Cu)/kg BK ransum).
R3
= R0 + 150 mg ZnSO4/kg BK
konsentrat + 3 % Zn-Cu isoleusinat (3000 ppm Zn dan 500 ppm Cu)/kg BK ransum).
Komposisi dan Kandungan Zat-Zat Makanan Ransum
Tabel 2. Komposisi Bahan
Pakan dalam Ransum
Jenis
Bahan Pakan
|
R0
|
R1
|
R2
|
R3
|
Standinghay rumput kume amoniasi (%)
|
100,0
|
60,0
|
60,0
|
60,0
|
Konsentrat sumber protein (PK<18%,
TDN>70%)
|
40,0
|
39,0
|
38,0
|
3,0
|
ZnSO4 (mg/kg BK PPG)
|
-
|
150,0
|
150,0
|
150,0
|
Zn-Cu isolusinat (% BK ransum)
|
-
|
1,0
|
2,0
|
3,0
|
Sumber :
Penelitian in vitro Hartati., dkk., (2009)
Pengacakan Ternak
Sebelum penelitian dilakukan terlebih
dahulu kandang dibersihkan, setelah itu ternak ditimbang untuk mendapatkan
berat bada awal dari keenam belas ternak sapi tersebut, lalu dikelompokkan
menjadi empat kelompok berdasarkan berat badan. Masing-masing kelompok terdiri
dari empat ekor ternak sapi, setelah itu setiap ternak dari masing-masing
kelompok diacak terhadap perlakuan. Kemudian ternak yang diacak terhadap
perlakuan diacak lagi terhadap kandang, baru kemudian setiap ternak ditempatkan
pada kandangnya masing-masing untuk diberi perlakuan sesuai dengan hasil
pengacakan.
Prosedur Penelitian
Pada awal masa penelitian ternak
ditimbang untuk mengetahui berat badan awal dari ternak tersebut. Setelah
penelitian berjalan, setiap 2 minggu sekali dilakukan penimbangan terhadap
ternak dengan masa pengambilan data.
Pemberian pakan dilakukan mulai pada
pagi hari, diawali dengan pemberian mineral organik Zn-Cu Isoleusinat dan ZnSO4
sampai habis, setelah itu diikuti dengan pemberian konsentrat berbasis pakan
lokal (jagung kuning, dedak halus, bungkil kelapa, minyak lemuru, garam, premix)
serta diakhiri dengan pemberian standinghay
amoniase rumput kume dan air minum. Sebelum pemberian pakan, semua pakan
ditimbang berdasarkan kebutuhan dari masing-masing ternak, serta sisa pakan
yang ada pada tempat makan dilakukan penimbangan pada keesokan harinya untuk
memperoleh data konsumsi pakan.
Variabel yang Diukur
1.
Pertambahan
berat badan.
Pertambahan berat badan (PBB) harian diukur berdasarkan
petunjuk Banerjee (1982), dalam Hartati, (2009) yaitu :
PBB
= Berat badan akhir penelitian (kg) – Berat badan awal penelitian (kg)
Waktu Penelitian (hr)
2.
Konsumsi
Bahan Kering (BK) dan Bahan Organik (BO)
a.
Bahan
Kering (BK)
Konsumsi BK = BK ransum dikonsumsi – BK yang keluar lewat
feses
b.
Bahan
Organik
Konsumsi BO = BO ransum dikonsumsi – BO yang keluar lewat
feses
BK ransum = ∑ ransum yang dikonsumsi × % BK
ransum
BK feses = ∑ feses yang dikeluarkan ×
% BK feses
BO ransum = ∑ ransum yang dikonsumsi × % BK
ransum
BO feses = ∑ feses yang dikeluarkan ×
% BK feses
Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian
ini dianalisis menggunakan Sidik Ragam sesuai petunjuk Gasper (1990) untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjut dengan uji jarak berganda Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan
Umum Ternak Sapi Penelitian
Sapi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Bali jantan muda yang diperoleh dari
petani-peternak desa Oenasi, Tilong di Kecamatan Kupang Tengah, dimana dalam
pemeliharaannya masih secara ektensif tradisional yaitu ternak sapi dilepas
pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari.
Sebelum awal
masa penyesuaian terlebih dahulu kandang dibersihkan dan disemprotkan
desinfektan guna mencegah pertumbuhan mikroorganisme pathogen selama penelitian
berlangsung. Ternak yang digunakan dalam penelitian diberikan obat cacing
Ivomec secara subcutan masing-masing 2 ml/ekor.
Sebelum
penelitian dimulai, ternak-ternak sapi tersebut nampaknya kurang menyukai bahan
makanan yang diberikan. Keadaan ini dapat ditolerir karena ternak-ternak
tersebut belum beradaptasi dengan keadaan yang selalu berada dalam kandang dan
juga ternak tersebut belum terbiasa dengan ransum perlakuan yang diberikan atau
konsentrat, sehingga periode penyesuaiaan berlangsung selama 2 minggu,
selanjutnya sapi-sapi tersebut sudah mulai beradaptasi dan terbiasa dengan
ransum yang diberikan. Kondisi sapi secara umum pada awal dan selama masa
penelitian dalam keadaan sehat dan mempunyai respon yang sangat baik terhadap
perlakuan yang diuji.
Pengaruh Perlakuan Terhadap
Konsumsi Bahan Kering (Kg/hr)
Pengaruh Perlakuan Tehadap Rata-rata
Konsumsi Bahan Kering ransum disajikan pada Tabel 3.
Tabel
3. Rata-rata Konsumsi Bahan Kering Ransum pada setiap Perlakuan (Kg/hr)
Kelompok
|
Perlakuan
|
|||
R0
|
R1
|
R2
|
R3
|
|
I
|
5,3085
|
5,1105
|
5,1844
|
6,3572
|
II
|
4,4724
|
4,2810
|
6,9407
|
5,3851
|
III
|
5,2364
|
5,7526
|
5,5656
|
4,6269
|
IV
|
4,2861
|
5,8048
|
6,0856
|
5,9903
|
Jumlah
|
19,30
|
20,95
|
23,78
|
22,37
|
Rata –rata
|
4,83a
|
5,24a
|
5,94a
|
5,59a
|
Keterangan:
Superscrip yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan.
Dari Tabel 3 di
atas terlihat bahwa terjadi peningkatan konsumsi bahan kering pada R1, R2 dan
R3, dengan konsumsi bahan kering yang paling tinggi dicapai oleh ternak yang
mendapat perlakuan R2
Hasil analisis
menunjukkan bahwa suplementasi ZnSO4/Kg BK konsentrat dan Zn-Cu Isoleusinat
(3000 ppm Zn dan 500 ppm Cu) /Kg BK Ransum berpengaruh tidak nyata tehadap
konsumsi bahan kering ransum. Hasil uji lanjut juga menunjukkan bahwa pengaruh
antara perlakuaan R0-R1, R2, R3; R1-R2, R3; R2-R3 tidak berbeda nyata.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena kandungan zat-zat makanan mampu mensuplai
nitrogen mikroba dan cukup tersedianya kerangka karbon (C) dan energi dalam
ransum untuk mensintesi protein mikroba meningkat sehingga laju degradasi pakan
tinggi seirama dengan pengosongan rumen selanjutnya mempengaruhi konsumsi bahan
kering. Pernyataan didukung oleh Hattu dkk, (1986) bahwa ternak yang
mengkonsumsi makanan yang berkualitas baik, pengosongan rumen berlangsung lebih
cepat dan merangsang ternak untuk makan kembali. Selanjutnya Susetyo (1976),
mengemukakan bahwa tingkat palatabilitas sangat berpengaruh terhadap total
konsumsi. Kecepatan pengosongan rumen karena proses pencernaan pakan oleh
mikroba rumen berlangsung cepat sehingga mempercepat lama waktu tinggal pakan
dalam rumen.
Pengaruh Perlakuan Terhadap
Konsumsi Bahan Organik pada Setiap Perlakuan (Kg/hr)
Pengaruh Perlakuan tehadap Rata-Rata
Konsumsi Bahan Organik disajikan pada Tabel 4.
Tabel
4. Rata-rata Konsumsi Bahan Organik (Kg/hr)
Kelompok
|
Perlakuan
|
|||
R0
|
R1
|
R2
|
R3
|
|
I
|
5,0488
|
4,8695
|
4,9367
|
6,0524
|
II
|
4,2616
|
4,0794
|
6,6066
|
5,1352
|
III
|
4,9820
|
5,4820
|
5,2936
|
4,4170
|
IV
|
4,0779
|
5,5287
|
5,7930
|
5,7018
|
Jumlah
|
18,37
|
19,96
|
22,63
|
21,31
|
Rata –rata
|
4,59a
|
4,99a
|
5,66a
|
5,33a
|
Keterangan:
Superscrip yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan.
Pada Tabel 4 di atas terlihat bahwa rata-rata
konsumsi bahan Organik tertinggi dicapai oleh ternak yang mendapat perlakuan R2
yaitu sebesar 5,66; kemudian berturut-turut diikuti oleh ternak yang mendapat
perlakuan R3 yaitu sebesar 5,33; perlakuan R1 yaitu sebesar 4,99 dan perlakuan
R0 terendah yaitu 4,59.
Hasil analisis
menunjukkan bahwa suplementasi ZnSO4/Kg Konsentrat dan Zn-Cu Isoleusinat (3000
ppm Zn dan 500 ppm Cu) berpengaruh tidak nyata terhadap konsumsi bahan organik.
Hasil uji lanjut menunjukan bahwa antara perlakuaan R0-R1, R2, R3; R1-R2, R3,
R2-R3 tidak berbeda nyata. Hal tersebut disebabkan karena menurut Bamualim
(1988) bahwa protein merupakan suatu zat makanan yang esensial bagi tubuh
ternak dan dapat meningkatkan palatabilitas ransum dan tersedianya zat gizi
yang cukup untuk aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme sehingga proses
pencernaan dan konsumsi meningkat. Peningkatan konsumsi bahan organik seiring
dengan peningkatan konsumsi bahan kering, karena bahan organik merupakan bagian
dari bahan kering.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Petambahan
Berat Badan Sapi
Pertumbuhan
ternak dapat dilihat dari pertambahan berat badan harian, karena pertumbuhan
dapat diukur berdasarkan pertambahan berat badan harian. Pertumbuhan mempunyai
nilai ekonomi yang penting dalam penampilan produksi ternak, sehingga makin
banyak konsumsi zat-zat makanan akan makin banyak suplai zat-zat makanan bagi
pertumbuhan tubuh ternak. Didukung oleh pendapat Anggorodi (1990), yaitu makin
banyak konsumsi zat-zat makanan khususnya protein dan energi akan makin tinggi
pertambahan berat badan.
Tabel 5. Rata-rata Pertambahan Berat
Badan Sapi Bali pada setiap Perlakuan (kg/ekor/hr)
Ulangan
|
Perlakuan
|
|||
R0
|
R1
|
R2
|
R3
|
|
I
|
0,5536
|
0,5446
|
0,6339
|
0,7054
|
II
|
0,4518
|
0,6607
|
0,8214
|
0,6964
|
III
|
0,4286
|
0,5179
|
0,7232
|
0,6518
|
IV
|
0,4732
|
0,5536
|
0,7054
|
0,7679
|
Jumlah
|
1,9071
|
2,2768
|
2,8839
|
2,8214
|
Rata-rata
|
0,4768a
|
0,5692a
|
0,7210c
|
0,7054bc
|
Keterangan: Superscrip berbeda
menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01)
Rata-rata
pertambahan berat badan akibat pengaruh perlakuan disajikan pada Tabel 5. Pada
tabel tersebut terlihat bahwa pertambahan berat badan sapi tertinggi dicapai
oleh ternak yang mendapat perlakuan R2 yaitu sebesar 0,7210; kemudian
berturut-turut diikuti oleh ternak yang mendapat perlakuan R3 yaitu sebesar 0,7054;
R1 yaitu sebesar 0,5692 dan yang terendah adalah R0 yaitu sebesar 0,4768.
Hasil analisis
menunjukan bahwa suplementasi kombinasi ZnSO4/Kg konsentrat dan Zn-Cu
Isoleusinat (3000 ppm Zn dan 500 ppm Cu) berpengaruh sangat nyata (P>0,01)
terhadap peningkatan pertambuahan berat badan. Selanjutnya hasil uji lanjut
menunjukkan bahwa antara perlakuan R0-R1 dan R2-R3 tidak berbeda, namun antara
R0-R2,R3; R1-R2, R3 berbeda sangat nyata (P<0,01). Meningkatnya pertambahan
berat badan yang signifikan disebabkan karena meningkatnya konsumsi bahan
kering (BK) ransum dan bahan organik (Tabel 3 dan Tabel 4). Hal ini sesuai
dengan pendapat Parakkasi (1999) bahwa meningkatnya konsumsi makanan yang
mempunyai nilai nutrisi tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan jaringan
yang akan berdampak pada pertambahan berat badan. Tingginya kandungan protein
dalam bahan pakan diduga merupakan faktor utama terhadap pertambahan berat
badan. Hal ini didukung pula oleh pendapat Lubis (1963), yang menyatakan bahwa
dalam periode petumbuhan ternak membutuhkan kandungan zat-zat makanan yang
berimbang dalam ransum terutama protein, karena protein tersebut digunakan
untuk pertumbuhan jaringan-jaringan tubuh. Dengan
demikian ransum yang kandungan protein kasarnya tinggi akan memberikan
pertambahan berat badan yang tinggi dibandingkan dengan ransum yang kandungan
protein kasarnya rendah.
Perbedaan sangat
nyata (P<0,01) terhadap pertambahan berat badan antara R0 - R2; R0 - R3; R1
- R2 dan R1 - R3 secara umum dipengaruhi oleh tersedianya protein mikoba yang
diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan berat badan. Pernyataan
tersebut didukung oleh Snifen dan Robinson (1987) yang menyatakan bahwa 40 -
80% dari asam amino bagi ternak tersebut berasal dari protein mikroba. Selain
itu ransum R1, R2 dan R3 disumplemtasi dengan ZnSO4 dan Zn-Cu Isoleusinat yang
diduga dapat mengoptimalkan sintesis protein bakteri khususnya bakteri
selulotik yang sangat esensial bagi ternak ruminansia karena menghasilkan enzim
berperan dalam mencerna serat. Dugaan tersebut menguatkan pernyataan Hartati,
dkk. (2009), bahwa suplementasi Zn-Cu Isoleusinat dan ZnSO4 pada ransum
berbasis standinghay berpengaruh
signifikan terhadap peningkatan proses fermentasi dalam rumen secara in vitro. Pendapat tersebut juga
didukung oleh Thalib et al (2000)
bahwa untuk meningkatkan aktivitas bakteri dalam mencerna serat pakan
diperlukan zat faktor pertumbuhan dalam bentuk campuran vitamin dan mineral (Cu
dan Zn).
Disamping itu
diduga cukup tersedianya Zn di pasca rumen dapat mengoptimalkan kecernaan
protein, penyerapan asam amino dan metabolis energy, sedangkan tercukupnya Cu
dapat mengoptimalkan kadar Hb darah, enzym dan hormon pertumbuhan.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan
terhadap perubahan yang diamati disimpulkan sebagai berikut :
1.
Suplementasi ZnSO4/kg konsentrat dan
Zn-Cu Isoleusinat (3000 ppm Zn dan 500 ppm Cu) pada level 2% dalam ransum berbasis pakan lokal dengan standinghay
rumput kume amoniasi memberikan pertambahan berat badan sapi Bali jantan muda
yang tertinggi yaitu 0,72 kg/hr.
2.
Suplementasi ZnSO4 dan Zn-Cu Isoleusinat
dalam ransum berbasis pakan lokal tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi Bahan Kering (BK) dan Bahan Organik (BO) namun ada
kecenderungan terjadi peningkatan konsumsi pada level 2%.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka
perlu dilakukan penerapan penggunaan pakan suplementasi ZnSO4 dan Zn-Cu
Isoleusinat dalam ransum
berbasis pakan lokal pada level 2% dengan standinghay
rumput kume amoniasi kerana pada level 2% ini dapat meningkatkan pertambahan
berat badan harian ternak sapi Bali 0,72 kg/hr.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media
Pustaka, Jakarta.
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum.
Penerbit. Gramedia. Jakarta.
Bamualim, A. 1988. Prinsip-Prinsip Dalam
Pemberian Makanan Ternak Sapi Bali. Dalam : Prinsip-Prinsip
dan Metode Penelitian Peternakan. Kumpulan Materi Kursus (11-12 Januari 1988).
Balai Penelitian Ternak. Lili-Kupang.
Bandini, Y. 1997.
Sapi Bali. Penebar Swadaya, Jakarta.
Bandini, Y.
1999. Sapi Bali. Penebar Swadaya, Jakarta.
Belli HLL, Jelantik IGN, Holtz W. 2008. Improving Calf Performance
by Supplementation in Bali Cattle Grazing Communal Pastures in West Timor,
Indonesia Proc Aust Soc Anim Prod Vol. 27
Gasper.
1990. Buku Pintar Peternakan. Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta
Hartati,
E. 1998. Suplementasi Minyak Lemuru dan Seng ke dalam Ransum yang Mengandung
Silase Pod Kakao dan Urea untuk memacu Pertumbuhan Sapi Holstein Jantan. Disertasi Program Sarjana IPB, Bogor.
______dan
N. G. F. Katipana. 2006. Sifat Fisik, Nilai Gizi dan Kecernaan In Vitro Standinghaylage Rumput Kume Hasil
Fermentasi menggunakan Gula Lontar dan Feses Ayam. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Hal: 885-890.
______,
N. G. F. Katipana dan A. Saleh. 2007. Manfaat Pakan Padat Gizi yang Mengandung
Minyak Lemuru dan Seng untuk Perbaikan Mutu Fetus Sapi Bali pada Akhir
Kebuntingan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. FAPET UNDANA, Kupang.
______,
A. Saleh dan E. D. Sulistidjo. 2009. Optimalisasi Proses Fermentasi Rumen dan
Pertumbuhan Sapi Bali melalui Suplementasi Zn-Cu Isoleusinat dan ZnSO4 pada
Ransum Berbasis Standinghay Rumput Kume (andropogon
timorensis) Amoniase. Laporan Penelitian Fundamental Fakultas Peternakan,
UNDANA, Kupang.
Hattu,
G. H. C, W. A. Lay, F. Hartati dan R. M Ratu Kore 1986.
Produksi Ternak Potong. Diklat Kuliah FAPET UNDANA. Kupang.
Hungate,
R. E. 1966. The Rumen and its Microbes. New York: Academy Press.
Leng,
R. A. J. J. Davis, G. Bremner and M. W. Thomas Sewska. 1991. Recycling of
agricultural and Agro-Industrial by Product and Waste for Animal Feed and
Environmental Sanitation. Material for the Short Course, Denpasar.
Lubis,
D. A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan kedua. PT. Pembangunan. Jakarta.
Mc.
Donald. P, RA. Edwards and J. F. D. Greendhalgh. 1988. Animal Nutrien 4th edition. Logman Sorentific and
Techmical, New York. Underwood, E. J. Trace Mineral in Human and Animal
Nutrition. 4th. New York. Acamedic Press.
NRC.
1976. Nutrient Requiremenst of Beef Cattle National. Academy of Science,
Washinton, DC.
Pane,
I. 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi
Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung
Pandang.
Parakksi,
A. 1999. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Diklat FAPET IPB. Bogor.
Payne,
W.J.A. and Rollinson, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7, 13-21
Santosa,
U. 1995. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar,
BS. 1996. Ransum Ternak Ruminansia. Penerbit Swadaya. Jakarta
Soeparno.
1991. Penanganan Karkas dan Daging. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada.
Jogjakarta.
Soeyono,
M. 2006. Perkembangan dan Arah Perkembangan Teknologi Pakan di Indonesia. dalam
Prosiding Orasi dan Seminar Pelepasan Dosn Purna Tugas 2006 menyongsong Rencana
Kecukupan Daging Tahun 2010. Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta.
Tanuwiria,
U. H. 2004. Efek Suplementasi Zn-Cu Proteinat dalam Ransum terhadap
Fermentabilitas dan Kecernaan In-Vitro. Jurnal Ilmu Ternak. 4 (1): 7-12.
Thalib,
A., B. Haryanto, S. Kompiang, I. W. Mathius, dan A. Ainin. 2000. Pengaruh
Mikromineral dan Fenilpropionat terhadap Performans Bakteri Selulotik Coccid
dan Batang dalam mencerna Serat Hijauan Pakan. J. Ilmu Ternak dan Vet., 5 (2):
92-99.
Thalib,
C., K. Entwistle, A. Siregar,. S. Budiarti-Turner, and D. Lisday. 2003. Survey
of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding
Program in Indonesia. Proceeding of an ACIAR Workshop on “ Strategies to
Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia”. Denpasar, Bali.
Tillman,
A. D, H. Hartadi, S. Reksohardiprodjo, S. Prawirokusumo. S. Lebdosoekojo. 1989.
Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar