Selasa, 17 April 2012

Kajian Nilai Guna Rumput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih Sebagai Pakan Kambing di Pulau Timor


OLEH


Samuel H. Taosu., Yelly M. Mulik., dan Yohanis Y. Pello.
Fapet UNDANA



RINGKASAN


Produktifitas ternak dipengaruhi oleh ketersediaan pakan baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Salah satu sumber pakan lokal yang potensial dan adaptif di Pulau Timor adalah rumput Kume. Namun, pada musim kemarau kandungan serat kasarnya tinggi karena dibiarkan begitu saja hingga mengering di padang, sehingga diperlukan adanya suatu bioteknologi yang dapat menurunkan kandungan serat kasar dari rumput Kume tersebut. Oleh karena itu, perlu dicari bioteknologi yang sesuai sehingga rumput Kume tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan.

Salah satu bioteknologi yang dapat digunakan adalah biokonversi menggunakan jamur titam putih. Penggunaan jamur tiram putih dalam biokonversi tidak membutuhkan biaya yang mahal, mudah tumbuh, dapat melonggarkan ikatan lignin dari selulosa, serta ramah lingkungan.

Jamur tiram putih menghasilkan protein dalam jumlah yang sangat banyak dibanding protein yang dikandung asparagus dan kubis. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh jamur ini akan mendegradasi senyawa-senyawa yang sukar larut yang nantinya akan diserap oleh miselium sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya dan induk semangnya. Jamur ini juga mendegradasi lignin dan komponen polisakarisa oleh enzim fenol-oksidase yang menyebabkan struktur dinding sel menjadi renggang, rapuh, dan hancur. Aksi dari enzim ini mengakibatkan selulosa menjadi bebas sehingga menjadi sumber energi potensial bagi ternak yang mengkonsumsinya. Selain menurunkan komponen serat kasar, jamur tiram putih juga meningkatkan kadar protein yang dihasilkan oleh miselium jamur tersebut.

Oleh karena itu, penulis membuat karya tulis ini, dengan judul “Kajian Nilai Guna Rumput Kume (Sorghum plumosum var. Timorense) Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih ( Pleurotus ostreatus ) Sebagai  Pakan Kambing di Pulau Timor”.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang

Masalah pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah ketersediaan hijauan pakan khususnya rumput alam baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini disebabkan oleh kondisi iklim di NTT yang musim hujannya relatif pendek yaitu 3-4 bulan dan musim kemarau yang relatif panjang yaitu 8-9 bulan. Dimusim hujan pakan tersedia dalam jumlah yang berlebihan dengan kualitas yang cukup baik yang ditandai dengan kandungan protein 9-12%, sebaliknya dimusim kemarau pakan tersedia dalam jumlah yang terbatas dengan kualitas yang rendah yang ditandai dengan kisaran kandungan protein sebesar 0,49-2,98% (Katipana dkk., 1992).

Rumput Kume merupakan salah satu rumput alam dan merupakan pakan lokal yang keberadaannya cukup banyak di NTT, tersedia sepanjang tahun tetapi pada musim kemarau tumbuh sebagai standing hay. Produksi yang cukup tinggi ini memberi peluang bagi pemanfaatannya sebagai pakan, namun karena musim kemarau yang cukup panjang dan paceklik pakan, rumput ini merupakan pakan tunggal pada musim tersebut baik bagi ternak ruminansia besar maupun kecil.

Zat makanan utama yang dibutuhkan oleh ternak antara lain karbohidrat. Salah satu sumber karbohidrat adalah rumput Kume kering karena sebagian besar terdiri atas serat kasar (hemiselulosa dan selulosa). Kandungan dinding sel tersebut membentuk kompleks lignin yang kuat sehingga mengakibatkan palatabilitas dan daya cerna yang rendah, akibatnya pemanfaatannya sebagai pakan belum maksimal. Oleh karenanya agar rumput Kume dapat digunakan sebagai pakan pengganti hijauan maka diperlukan sentuhan bioteknologi yang dapat meningkatkan nilai nutrisinya dan memecahkan lignoselulosa dan hemiselulosa yang dapat digunakan sebagai sumber energi bagi ternak.

Salah satu aplikasi bioteknologi adalah biokonversi biologis dengan menggunakan jamur tiram putih. Pengolahan dengan teknologi biokonversi ini lebih menguntungkan karena selain dapat meningkatkan nilai gizi, juga tidak berbahaya, tidak menimbulkan polusi, dan biaya relatif murah. Jamur ini dapat melakukan proses biokonversi pakan karena mampu meningkatkan nilai gizi pakan berkualitas rendah dengan cara menghasilkan enzim fenol-oksidase (lakase, peroksidase, dan tirosinase) yang mampu mendegradasi lignoselulosa dan hemiselulosa yang secara umum sulit dicerna oleh ternak. Proses biokonversi ini juga dapat meningkatkan protein yang diperkaya oleh miselium jamur serta meningkatkan selulosa dan hemiselulosa tersedia.

Kambing merupakan salah satu ternak yang hampir dijumpai diseluruh Indonesia. Ternak kambing memiliki daya tahan tubuh yang kuat terhadap pengaruh iklim dan makanan yang berubah-ubah, lincah, resisten terhadap penyakit dan mudah penanganannya. Dari segi nutrisi, makanan merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksinya (Murtidjo, 1993), sedangkan dilihat dari sumber makanannya, ternak kambing banyak memakan dedaunan, pucuk-pucuk pohon, ranting dan rerumputan terutama segala jenis hijauan. Namun, dari pakan yang tersedia tidak semua memberikan hasil yang optimal karena masing-masing mempunyai kandungan nutrisi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, dalam penulisan karya ilmiah ini diangkat judul “Kajian Nilai Guna Rumput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih Sebagai Pakan Kambing di Pulau Timor“.

1.2. Perumusan Masalah
1. Meningkatnya ketersediaan rumput Kume kering ”standing hay” pada musim kemarau.
2. Strategi yang dapat dilakukan guna mengolah “standing hay” dari rumput Kume tersebut agar menjadi pakan yang berkualitas.

1.3. Tujuan dan Manfaat

            1.3.1. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui nilai guna rumput Kume hasil biokonversi jamur tiram putih sebagai pakan kambing di Pulau Timor.

            1.3.2. Manfaat
Karya tulis ini diharapkan  sebagai sumber informasi ilmiah bagi masyarakat maupun pihak-pihak terkait lainnya terhadap  nilai guna rumput Kume hasil biokonversi jamur tiram putih sebagai pakan kambing di Pulau Timor.

1.4. Metode Penulisan
Metode penulisan karya ilmiah ini dititik beratkan pada kajian tentang nilai guna rumput Kume hasil biokonversi jamur tiram putih sebagai pakan kambing di Pulau Timor






BAB II
TELAAH  PUSTAKA


2.1.  Rumput Kume (Sorghum plumosum var. Timorense)
Dari segi taksonomi, rumput Sorghum plumosum var. Timorense termasuk dalam phylum: tracheophyta , sub phylum: pteropsida , kelas: angiospermae , subkelas: monocotyledonae , ordo: graminales , family: graminae (andropogoneae) , sub family: panicoideae , genus: sorghum , spesie : Sorghum plumosum (Dami Dato, 1998).

Rumput Sorghum plumosum var. Timorense biasa dikenal dengan  nama Andropogon timorensis atau nama lokalnya rumput merah (Timor = Kume). Varietas Timorense berarti varietas yang cocok dengan kondisi klimatologis Timor. Plumosum artinya menyerupai bulu dengan rambut halus, pada sisinya memiliki beberapa bulu tegak. Rumput ini bersifat perennial, seperti rumput-rumputan dan tingginya berkisar antara 0,3-4 m.

Pemanfaatan rumput Kume sebagai pakan belum maksimal, hal ini dikarenakan pada musim kemarau kandungan nilai gizinya rendah, akibat dibiarkan menua tidak dipotong. Kandungan gizi rumput Kume pada stadia pertumbuhan vegetatif dan kering disajikan pada tabel 1.

Untuk meningkatkan nilai nutrisi rumput Kume dapat dilakukan dengan 4 cara, yakni:1). pengolahan secara fisik, dilakukan dengan merombak struktur fisik dan mengurangi ukuran partikel sehingga memudahkan penetrasi enzim ke dalam substrat; 2). pengolahan secara kimia, dilakukan dengan penambahan bahan kimia yang ramah lingkungan, bertujuan melonggarkan ikatan lignoselulosa; 3). pengolahan fisik dan kimia, perpaduan antara pengolahan fisik dan kimia. Dimana, bahan yang diolah dikurangi ukuran partikelnya kemudian ditambahkan bahan kimia sehingga mempercepat proses; dan 4). pengolahan biologis, pengolahan dengan menggunakan mikroorganisme.

Tabel 1. Nilai Nutrisi Rumput Kume pada stadia pertumbuhan vegetatif dan          kering

Unsur Nutrisi (%)
Vegetatif
Kering
Protein kasar (PK)
7,10
1,13
Serat Kasar (SK)
19,24
52,98
NDF
59,04
88,7
ADF
36,39
52,98
Selulosa
29,20
49,47
Hemiselulosa
22,65
37
Lignin
4,79
7,51
Sumber : Dami Dato (1998)


2.2.  Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Jamur Pleurotus ostreatus digolongkan ke dalam kingdom: plantae , subkingdom: fallophyta, devisi: mycota, subdevisi: eucomycotina, kelas: basidiomycetes, ordo: agaricales, family: tricholomeceae, genus: pleurotus, spesies: Pleurotus ostreatus (Alexopolus, 1962 ; Chang & Miles, 1989 dikutip Jamin, 2004).

Jamur tiram putih memiliki tudung berbentuk setengah lingkaran dengan bagian tengah agak cekung berwarna putih hingga krem. Permukaan tubuh licin dengan diameter 5-20 cm, spora berbentuk batang berukuran 8-11×3-4 µm. Ciri-ciri jamur tiram putih antara lain saprofit, berspora, berinti, tidak mempunyai klorofil, dan bersifat simbiosis (http://id.wikipedia.org/wiki/Jamur_tiram).
Secara alami jamur tiram putih butuh lingkungan dan nutrisi yang sesuai. Suhu, cahaya, tingkat CO2, kelembaban dan aerasi mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu yang dikehendaki berkisar antara 20-30oC , suhu untuk pertumbuhan misellium 22oC sedangkan cahaya yang dibutuhkan 20% (http://doitnow.ws/?p=65).

Kandungan protein jamur tiram putih rata-rata 3,5-4% dari berat basah dan 19-35% dari berat kering. Jamur ini merupakan jamur yang memecah karbon dan hidrogen dari ikatan lignin secara enzimatis sehingga memudahkan penetrasi enzim selulosa. Terputusnya ikatan antara komponen dinding sel ditandai dengan meningkatnya kelarutan masing-masing komponen serat. Hal ini menurunkan persentase kandungan serat sehingga meningkatkan kecernaaan karbohidrat pakan (Jamin, 2004).

Beberapa keunggulan jamur tiram putih antara lain tidak bersifat toksik, bermanfaat ganda, yakni dapat dijadikan pakan dan pangan, mudah tumbuh, penggunaannya dalam biokonversi tidak membutuhkan biaya yamg mahal, mampu melonggarkan ikatan lignin dari selulosa berkat enzim fenol-oksidase.


2.3.  Biokonversi Rumput Kume
Biokonversi merupakan proses yang dilakukan oleh mikroorganisme untuk mengubah suatu senyawa menjadi produk lain yang berguna dan memiliki nilai tambah (Hardjo dkk., 1989). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, istilah biokonversi disama artikan dengan fermentasi yaitu suatu proses perubahan kimia pada substrat melalui aksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme.

Biokonversi bertujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi dan kecernaan rumput Kume kering dengan bantuan mikroorganisme, misalnya dengan penambahan inokulum jamur, bakteri atau enzim. Penambahan mikroorganisme bertujuan untuk mendegradasi lignoselulosa yang merupakan komponen serat utama yang dapat menurunkan nilai cerna (Hadar et al,. 1993 yang dikutip Ghunu, 1998).
Keuntungan biokonversi rumput Kume kering adalah untuk menurunkan kandungan lignoselulosa serta meningkatkan nilai gizi dan kecernaan dari bahan tersebut. Keberhasilan biokonversi dipengaruhi  oleh jenis jamur, tingkat konsentrasi, inokulum, pH, suhu, dan lama inkubasi (Rimbawanto, 1997). Biokonversi diarahkan untuk pemecahan hidrogen.

2.4.  Komponen Serat
Berdasarkan kelarutannya, Van Soest membagi komponen serat hijauan ke dalam 2 kelompok, yakni: 1). isi sel (Neutral Detergen Soluble [NDS]) yang terdiri protein, karbohidrat, mineral mudah larut, lemak,dan 2). dinding sel (Neutral Detergen Fiber [NDF]) terdiri dari hemiselulosa dan (Acid Detergen Fiber [ADF]  terdiri dari selulosa, lignin, dan hemiselulosa dalam jumlah yang sedikit.

Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mengandung sejumlah besar rantai-rantai linear xylose yang dihubungkan dengan ikatan β1-4 ditambah rantai-rantai yang terdiri dari arabinosa, mannosa, galaktosa, dan glukosa. Mempunyai cabang ikatan dengan arabinosa dan asam glukoronik yang lebih mudah larut dibanding pati tetapi karena keterikatannya dengan lignin sehingga tidak mudah larut. Hemiselulosa akan larut dalam larutan asam.

Selulosa merupakan komponen terbesar pembentuk kerangka tanaman, termasuk dalam golongan polisakarida. Paturau (1982) menyatakan bahwa selulosa umumnya bercampur dengan lignin, pentosan, tannin, lemak dan bahan pewarna, dengan rumus empiris C6H10O5 .

Selulosa dan lignin bila ditambahkan H2SO4 72%, maka yang akan larut hanyalah  selulosa sedangkan ligninnya tidak larut. Hal ini disebabkan karena kecernaan ADF berkaitan erat dengan lignoselulosa, dimana sebagian besar komponen ADF mengandung struktur dinding sel. Ranjhan (1980) menyatakan bahwa daya cerna isi sel hijauan dapat mencapai 90-98% sedangkan daya cerna dinding sel kecil dan bervariasi tergantung proses lignifikasi dengan komponen serat.


2.5.  Ternak Kambing (Capra aegagrus hircus)
Kambing lokal (Capra aegagrus hircus) adalah spesies dari kambing liar yang tersebar di Asia Barat Daya dan Eropa. Kambing diklasifikasikan ke dalam filum: chordata, kelas: mammalia, ordo: artiodactyla, family: bovidae, subfamili: caprinae, genus: capra, spesies: Capra aegagrus, sub spesies: Capra aegagrus hircus (http://kambingindonesia.blogspot.com/2008/11/sejarah-kambing-kambing-lokal-capra.html).

Kambing telah dibudidayakan manusia kira-kira 8.000-9.000 tahun yang lalu dengan makanan utamanya adalah rerumputan dan dedaunan. Makanan merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, kesehatan ternak dan hidup pokok (Tilman dkk ,, 1989). Namun, tidak semuanya memberikan hasil yang optimal karena masing-masing bahan makanan memiliki kandungan nutrisinya sendiri. Oleh karena itu,untuk menghasilkan hasil yang optimal, harus didukung dengan pengetahuan yang mendalam tentang karakteristik pakan (Jelantik, 1999).

Bamualim (1998) menyatakan bahwa kebutuhan pokok dan produksi ternak akan terpenuhi bila  konsumsi hijauannya 74-94% , sedangkan Susetyo dkk, (1969) menganjurkan pemberian hijauan pada ternak kambing ± 97% dari total ransum.



BAB III
METODE PENULISAN

3.1. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan, yakni suatu kajian terhadap pustaka yang ada dengan mengumpulkan hasil-hasil penelitian, data, pendapat dan pernyataan yang ada. Selanjutnya, diramu dengan hasil diskusi bersama dosen pembimbing dan rekan mahasiswa sehingga diperoleh informasi dan perkembangan tentang masalah-masalah yang dibahas sehingga menghasilkan karya tulis ini.

3.2. Langkah-Langkah Penyusunan Karya Ilmiah
Langkah-langkah penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.      Merumuskan Masalah
Mengacu pada pernyataan bahwa potensi rumput kume kering “standing hay” yang belum dimanfaatkan secara optimal atau belum adanya sentuhan bioteknologi, maka dibuatlah pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran dan fokus permasalahan serta sekaligus mengidentifikasi faktor-faktor penyebab masalah tersebut sehingga dapat dicari solusi yang tepat untuk mengatasinya.
2.      Mencari Sumber-Sumber Informasi
Berdasarkan topik yang diangkat dan pertanyaan-pertanyaan yang disusun maka dicari sumber informasi berupa data, pustaka, dan hasil-hasil penelitian serta pernyataan-pernyataan  yang terkait dengan topik permasalahan.




3.      Mengolah dan Menganalisis Masalah
Informasi yang dikumpul kemudian diolah dan  dikaji secara sistematis, sehingga akhirnya penulis memunculkan ide  penulisan tentang “Kajian Nilai Guna Runput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih Sebagai Pakan Kambing di Pulau Timor”. Ide munculnya penulisan ini sebenarnya tergolong menarik bila dikaitkan dengan ketersediaan standing hay yang melimpah saat  musim kemarau.
4.      Membahas Permasalahan
Ide-ide yang dimunculkan tersebut dibahas untuk melihat keterkaitannya dengan informasi dan permasalahan yang dihadapi, kemudian
dicari metode  yang tepat sebagi pemecah masalah.
5.      Penyusunan Karya Tulis
Setelah melewati semua tahapan di atas, selanjutnya disusun sebuah karya tulis yang mengacu pada sistematika yang ditetapkan panitia LKTM tingkat Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana Kupang, tahun 2009 dengan judul “Kajian Nilai Guna Rumput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih Sebagai Pakan Kambing di Pulau Timor”.

3.3.  Kerangka Pemikiran
                                                                       
      KENDALA
  -.SDM rendah
  -.belum adanya   sentuhan bioteknologi   

   MASALAH
    Kekurangan pakan di musim kemarau                                  
                                                                   
               SOLUSI
   Perlu adanya sentuhan bioteknologi
  Untuk meningkatkan nilai gizi pakan


            DIHARAPKAN
    Meningkatkan nilai guna rumput Kume
    Hasil biokonversi jamur tiram putih sebagai
    Pakan kambing di  Pulau Timor
                                   










BAB IV
PEMBAHASAN


4.1.Prosedur Biokonversi  Untuk Meningkatkan Kualitas Rumput Kume
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi rumput Kume dengan sentuhan bioteknologi dapat dilakukan dengan empat metode pengolahan, yakni: a). secara fisik; merombak struktur fisik dan mengurangi ukuran partikel substrat sehingga memudahkan penetrasi enzim ke dalam substrat. Keuntungan dari pengolahan ini adalah meningkatkan densitas pakan, meningkatkan konsumsi, mengurangi debu pakan, dan mengurangi sisa pakan. Sedangkan kelemahannya adalah dapat menurukan kecernaan. Hal ini akan terjadi bila ukuran partikel terlalu kecil maka laju pakan cepat, kontak dengan enzim tidak lama sehingga nutrisi yang terserap sedikit. b). secara kimia; untuk meningkatkan degradasi dinding sel yaitu melonggarkan ikatan lignohemiselulosa dan lignoselulosa dengan lignin dengan menambahkan bahan-bahan yang sifatnya alkalis seperti NaOH. Namun, hasil buangannya tidak ramah lingkungan sehingga Dami Dato dkk (1998) mengusulkan agar digunakan filtrat abu sekam padi. Keuntungan dari pengolahan kimia ini adalah dapat meningkatkan kecernaan sedangkan kelemahannya adalah merusak ekosistem. c). secara fisik dan kimia; bertujuan merombak struktur fisik dan memperluas permukaan material substrat sehingga meningkatkan kecernaan, namun dengan penggunaan bahan kimia dapat merusak ekosistem. d). secara biologis; dilakukan dengan penambahan inokulum jamur yang bertujuan untuk mendegradasi komponen-komponen serat. Keuntungan dari pengolahan secara biologi ini adalah meningkatkan kecernaan, dan ramah lingkungan sedangkan kerugiannya adalah dapat merusak lingkungan apabila populasi mikroorganisme di atas normal tetapi peluangnya kecil.


Prosedur biokonversi rumput kume dapat dilihat pada gambar 1.
   Rumput kume kering
                                                                       

      Dicacah  ± 3 cm
                                                            Bahan aditif (%): dedak 105, air 66,33
                                                            gypsum 1,5, CaCO3 0,5, dan NPK 0,5
     BIOKONVERSI
    Pengemasan dalam Kantung Plastik (1 Kg)
                Sterilisasi
   Suhu 120oC, 1 atm, 2 jam

     Didinginkan 12 jam

                             Inokulasi
           Bibit jamur tiram putih 15 kg-1 substrat
                           Inkubasi
Suhu 22-24 oC, RH 80-90%, waktu 40 hari

   Substrat dibuka, dikeringkan ± 1 hari dan diberikan pada ternak
Gambar 1. Diagram Alir Biokonversi Rumput Kume dengan Jamur Tiram Putih.
Hasil biokonversi yang dilaporkan oleh Ghunu (1998) bahwa proses biokonversi tidak saja menurunkan komponen serat atau kandungan unsur-unsur karbohidrat struktural, tetapi juga meningkatkan kadar protein (miselium jamur yang menghasilkan protein), juga selulosa dan hemiselulosa yang mudah didegradasi dengan pengolahan biokonversi rumput Kume yang akan menghasilkan pakan berkualitas tinggi. Tetapi keberhasilan proses biokonversi ditentukan oleh kondisi pertumbuhan dari mikroorganisme tersebut.


4.2.Tercernanya Rumput Kume Hasil Biokonversi pada Ternak Kambing.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jamin (2004), menunjukkan terjadinya peningkatan nilai hemiselulosa tercerna akibat merenggang atau bahkan terputusnya ikatan lignohemiselulosa karena terdegradasi oleh enzim hemiselulosa baik yang berasal dari jamur tiram putih atau dari rumen ternak kambing itu sendiri, sehingga hemiselulusa yang tadinya terikat dengan lignin menjadi hemiselulosa bebas dan penetrasi enzim ke dalam substrat produk lebih mudah dan selanjutnya ketika substrat tersebut dikonsumsi oleh ternak kambing maka aktivitas mikroba pencerna hemiselulosa meningkat.

Tingginya nilai hemiselulosa tercerna pada pemberian produk biokonversi karena adanya perbedaan tingkat aktivitas dari pencernaan hemiselulosa dalam rumen. Pernyataan ini dikuatkan dengan pernyataan Tarmidi (1999) yang mengemukakan bahwa enzim endoglukanase dan silanase asal jamur tiram putih aktif mendegradasi selulosa dan hemiselulosa sehingga nilai tercernanya menjadi lebih tinggi. Dengan meningkatnya nilai hemiselulosa tercerna dalam produk biokonversi, maka hasil depolimerisasinya menjadi glukosa dan maltose  melalui “efek karbohidrat” sebagai sumber energi menjadi semakin tinggi untuk kebutuhan pertumbuhan mikrobial maupun induk semangnya (ternak kambing). Selain itu, Haryanto (1989) dalam Jamin (2004) menyatakan bahwa ternak kambing lebih toleran terhadap pakan dengan konsentrasi fraksi serat (hemiselulosa, selulosa, dan lignin) yang tinggi.

Nilai  selulosa tercerna pun menjadi tinggi seperti pada hemiselulosa tercerna. Hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim yang dikeluarkan oleh jamur tiram putih telah mampu mendegradasi lignoselulosa menjadi polimer-polimer yang lebih sederhana, karena ikatan lignoselulosa substrat merenggang atau putus oleh aksi enzim selulase dari jamur tiram putih. Aksi dari enzim ini mengakibatkan selulosa menjadi bebas sehingga menjadi sumber energi potensial bagi ternak kambing yang mengkonsumsi produk tersebut.

Pemecahan selulosa oleh enzim selulase merupakan suatu proses pemecahan anhidroglukosa menjadi molekul yang lebih kecil yaitu berupa oligosakarida, trisakarida, disakarida, monosakarida, glukosa, CO2, dan air. Hasil akhir dari perombakan ini adalah Volatil Fatty Acid (VFA) yakni asam asetat, propionat dan butirat yang menjadi sumber energi bagi ternak ruminansia (Jamin, 2004).

Meningkatnya selulosa tercerna dari produk tersebut diduga karena kandungan selulosa dari produk sudah menurun akibat meningkatnya konsentrasi enzim selulase  yang dihasilkan oleh miselium jamur tiram putih. Tarmidi (1999) mengemukakan bahwa enzim asal jamur tiram putih aktif mendegradasi selulosa dan hemiselulosa sehingga nilai tercernanya menjadi lebih tinggi. Melihat hal ini, maka nilai guna rumput kume  hasil biokonversi mengunakan jamur tiram putih  memberikan kontribusi yang cukup baik terhadap perbaikan nutrien dari rumput Kume kering. Oleh karena itu,produk tersebut dapat direkomendasikan sebagai pakan alternatif untuk ternak ruminansia khususnya ternak kambing.


BAB V
PENUTUP


A.KESIMPULAN
Terjadinya peningkatan nilai guna dari rumput Kume kering setelah di biokonversi secara biologis menggunakan jamur tiram putih.


B.SARAN
Disarankan agar rumput Kume hasil biokonversi jamur tiram putih dapat digunakan sebagai pakan kambing.



DAFTAR PUSTAKA


Bamualim, A.B. 1998. Prinsip-Prinsip dalam Pemberian Makanan Ternak Sapi. Dalam Prinsip Produksi dan Metode Penelitian Peternakan. Materi Kursus 11-12 Januari. Sub Balai Penelitian Ternak Lili. Kupang

Dami Dato, T.O. 1998. Pengolahan Rumput Sorghum plumosum var.Timorense Kering dengan Filtrat Abu Sekam Padi (FASP) terhadap Perubahan Komponen Serat dan Kecernaannya Secara In Vitro. Bandung: Universitas Padjajaran.

Ghunu, S. 1998. Efek Dosis Inokulum dan Lama Biokonversi Ampas Tahu sebagai Bahan Pakan oleh Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) terhadap Kandungan Serat Kasar, Protein Kasar, Energi dapat Dicerna pada Domba. Bandung: Universitas Padjajaran.

Hardjo, dkk. 1989. Biokonversi Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bahan pengajaran. Penelaah: S. Fardiaz. Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Jamin. 2004. Kecernaan Komponen Serat Rumput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih pada Ternak Kambing Jantan. Kupang: Fapet UNDANA.

Jelantik, I. G. N. 1999. Konsumsi Pakan Ternak Ruminansia. Bahan Bacaan Penunjang Mata Kuliah Pengetahuan Bahan Makanan Ternak Ruminansia. Fapet, UNDANA. Kupang.

Katipana, N. G. F. 1992. Studi Kebuntingan dari Kambing Bunting Tunggal dan Kembar Selama Fase Akhir Kebuntingan. Laporan Penelitian, Fapet UNDANA.  Kupang.

Murtidjo, B. A. 1993. Memelihara Ternak Kambing sebagai Ternak Potong dan Perah. Yogyakarta: Kanisius.

Paturau, I. M. 1982. By Product of the Cane Sugar Industry. An Introduction to Their Industrial  Utilization. Elsevier Scientific Publishing Co.,Amsterdam – Oxford, New York. Sugar Series.

Ranjhan, S. K. 1980. Animal Nutrition in the Tropics. Vikas Publishing House Ltd. New Delhi, India PP 53-85.

Rimbawanto, F. A. 1997. Pengaruh Jenis Kapang dan Tingkat Konsentrasi Inokulum terhadap Nilai Gizi Kimia dan Nilai Gizi Biologis (In Vitro) Onggok Terfermentasi. Bandung: Universitas Padjajaran.

Susetyo, dkk. 1969. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Peternakan Rakyat, Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Tarmidi, A. R. 1999. Pengaruh Proses Biokonversi Jamur Tiram Putih Terhadap Nilai Nutrisi Dan Pemanfaatannya Sebagai Campuran Ransum Domba Priangan. Bandung: Universitas Padjajaran.

Tillman, dkk. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: UGM press