OLEH
Samuel H. Taosu., Yelly M. Mulik., dan
Yohanis Y. Pello.
Fapet UNDANA
RINGKASAN
Produktifitas
ternak dipengaruhi oleh ketersediaan pakan baik secara kuantitas maupun secara
kualitas. Salah satu sumber pakan lokal yang potensial dan adaptif di Pulau
Timor adalah rumput Kume. Namun, pada musim kemarau kandungan serat kasarnya
tinggi karena dibiarkan begitu saja hingga mengering di padang, sehingga
diperlukan adanya suatu bioteknologi yang dapat menurunkan kandungan serat
kasar dari rumput Kume tersebut. Oleh karena itu, perlu dicari bioteknologi
yang sesuai sehingga rumput Kume tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan.
Salah satu
bioteknologi yang dapat digunakan adalah biokonversi menggunakan jamur titam
putih. Penggunaan jamur tiram putih dalam biokonversi tidak membutuhkan biaya
yang mahal, mudah tumbuh, dapat melonggarkan ikatan lignin dari selulosa, serta
ramah lingkungan.
Jamur tiram
putih menghasilkan protein dalam jumlah yang sangat banyak dibanding protein
yang dikandung asparagus dan kubis. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh jamur ini
akan mendegradasi senyawa-senyawa yang sukar larut yang nantinya akan diserap
oleh miselium sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya dan induk semangnya.
Jamur ini juga mendegradasi lignin dan komponen polisakarisa oleh enzim fenol-oksidase
yang menyebabkan struktur dinding sel menjadi renggang, rapuh, dan hancur. Aksi
dari enzim ini mengakibatkan selulosa menjadi bebas sehingga menjadi sumber
energi potensial bagi ternak yang mengkonsumsinya. Selain menurunkan komponen
serat kasar, jamur tiram putih juga meningkatkan kadar protein yang dihasilkan
oleh miselium jamur tersebut.
Oleh karena
itu, penulis membuat karya tulis ini, dengan judul “Kajian Nilai Guna Rumput
Kume (Sorghum plumosum var. Timorense) Hasil Biokonversi Jamur Tiram
Putih ( Pleurotus ostreatus )
Sebagai Pakan Kambing di Pulau Timor”.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah
pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah ketersediaan hijauan
pakan khususnya rumput alam baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini
disebabkan oleh kondisi iklim di NTT yang musim hujannya relatif pendek yaitu
3-4 bulan dan musim kemarau yang relatif panjang yaitu 8-9 bulan. Dimusim hujan
pakan tersedia dalam jumlah yang berlebihan dengan kualitas yang cukup baik
yang ditandai dengan kandungan protein 9-12%, sebaliknya dimusim kemarau pakan
tersedia dalam jumlah yang terbatas dengan kualitas yang rendah yang ditandai
dengan kisaran kandungan protein sebesar 0,49-2,98% (Katipana dkk., 1992).
Rumput Kume merupakan
salah satu rumput alam dan merupakan pakan lokal yang keberadaannya cukup banyak
di NTT, tersedia sepanjang tahun tetapi pada musim kemarau tumbuh sebagai standing hay. Produksi yang cukup tinggi
ini memberi peluang bagi pemanfaatannya sebagai pakan, namun karena musim
kemarau yang cukup panjang dan paceklik pakan, rumput ini merupakan pakan
tunggal pada musim tersebut baik bagi ternak ruminansia besar maupun kecil.
Zat makanan
utama yang dibutuhkan oleh ternak antara lain karbohidrat. Salah satu sumber
karbohidrat adalah rumput Kume kering karena sebagian besar terdiri atas serat kasar
(hemiselulosa dan selulosa). Kandungan dinding sel tersebut membentuk kompleks
lignin yang kuat sehingga mengakibatkan palatabilitas dan daya cerna yang
rendah, akibatnya pemanfaatannya sebagai pakan belum maksimal. Oleh karenanya
agar rumput Kume dapat digunakan sebagai pakan pengganti hijauan maka
diperlukan sentuhan bioteknologi yang dapat meningkatkan nilai nutrisinya dan
memecahkan lignoselulosa dan hemiselulosa yang dapat digunakan sebagai sumber
energi bagi ternak.
Salah satu
aplikasi bioteknologi adalah biokonversi biologis dengan menggunakan jamur
tiram putih. Pengolahan dengan teknologi biokonversi ini lebih menguntungkan
karena selain dapat meningkatkan nilai gizi, juga tidak berbahaya, tidak
menimbulkan polusi, dan biaya relatif murah. Jamur ini dapat melakukan proses biokonversi
pakan karena mampu meningkatkan nilai gizi pakan berkualitas rendah dengan cara
menghasilkan enzim fenol-oksidase (lakase, peroksidase, dan tirosinase) yang
mampu mendegradasi lignoselulosa dan hemiselulosa yang secara umum sulit
dicerna oleh ternak. Proses biokonversi ini juga dapat meningkatkan protein
yang diperkaya oleh miselium jamur serta meningkatkan selulosa dan hemiselulosa
tersedia.
Kambing
merupakan salah satu ternak yang hampir dijumpai diseluruh Indonesia. Ternak kambing
memiliki daya tahan tubuh yang kuat terhadap pengaruh iklim dan makanan yang
berubah-ubah, lincah, resisten terhadap penyakit dan mudah penanganannya. Dari
segi nutrisi, makanan merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang kesehatan,
pertumbuhan, dan reproduksinya (Murtidjo, 1993), sedangkan dilihat dari sumber
makanannya, ternak kambing banyak memakan dedaunan, pucuk-pucuk pohon, ranting
dan rerumputan terutama segala jenis hijauan. Namun, dari pakan yang tersedia
tidak semua memberikan hasil yang optimal karena masing-masing mempunyai
kandungan nutrisi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, dalam penulisan karya
ilmiah ini diangkat judul “Kajian Nilai
Guna Rumput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih Sebagai Pakan Kambing di
Pulau Timor“.
1.2. Perumusan Masalah
1. Meningkatnya ketersediaan rumput Kume kering ”standing hay” pada musim kemarau.
2. Strategi yang dapat dilakukan guna mengolah “standing hay” dari rumput Kume tersebut agar menjadi pakan yang
berkualitas.
1.3. Tujuan dan Manfaat
1.3.1.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui
nilai guna rumput Kume hasil biokonversi jamur tiram putih sebagai pakan
kambing di Pulau Timor.
1.3.2.
Manfaat
Karya tulis ini diharapkan sebagai
sumber informasi ilmiah bagi masyarakat maupun pihak-pihak terkait lainnya terhadap nilai guna rumput Kume hasil biokonversi
jamur tiram putih sebagai pakan kambing di Pulau Timor.
1.4. Metode Penulisan
Metode penulisan
karya ilmiah ini dititik beratkan pada kajian tentang nilai guna rumput Kume hasil
biokonversi jamur tiram putih sebagai pakan kambing di Pulau Timor
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1.
Rumput Kume (Sorghum plumosum
var. Timorense)
Dari segi
taksonomi, rumput Sorghum plumosum
var. Timorense termasuk dalam phylum:
tracheophyta , sub phylum: pteropsida , kelas: angiospermae , subkelas: monocotyledonae
, ordo: graminales , family: graminae (andropogoneae) , sub family: panicoideae
, genus: sorghum , spesie : Sorghum plumosum (Dami Dato, 1998).
Rumput Sorghum plumosum var. Timorense biasa dikenal dengan nama Andropogon
timorensis atau nama lokalnya rumput merah (Timor = Kume). Varietas Timorense
berarti varietas yang cocok dengan kondisi klimatologis Timor. Plumosum artinya menyerupai bulu dengan
rambut halus, pada sisinya memiliki beberapa bulu tegak. Rumput ini bersifat
perennial, seperti rumput-rumputan dan tingginya berkisar antara 0,3-4 m.
Pemanfaatan
rumput Kume sebagai pakan belum maksimal, hal ini dikarenakan pada musim
kemarau kandungan nilai gizinya rendah, akibat dibiarkan menua tidak dipotong.
Kandungan gizi rumput Kume pada stadia pertumbuhan vegetatif dan kering
disajikan pada tabel 1.
Untuk
meningkatkan nilai nutrisi rumput Kume dapat dilakukan dengan 4 cara, yakni:1).
pengolahan secara fisik, dilakukan dengan merombak struktur fisik dan
mengurangi ukuran partikel sehingga memudahkan penetrasi enzim ke dalam
substrat; 2). pengolahan secara kimia, dilakukan dengan penambahan bahan kimia
yang ramah lingkungan, bertujuan melonggarkan ikatan lignoselulosa; 3).
pengolahan fisik dan kimia, perpaduan antara pengolahan fisik dan kimia.
Dimana, bahan yang diolah dikurangi ukuran partikelnya kemudian ditambahkan
bahan kimia sehingga mempercepat proses; dan 4). pengolahan biologis, pengolahan
dengan menggunakan mikroorganisme.
Tabel 1. Nilai Nutrisi Rumput Kume pada stadia pertumbuhan vegetatif
dan kering
Unsur Nutrisi (%)
|
Vegetatif
|
Kering
|
Protein kasar (PK)
|
7,10
|
1,13
|
Serat Kasar (SK)
|
19,24
|
52,98
|
NDF
|
59,04
|
88,7
|
ADF
|
36,39
|
52,98
|
Selulosa
|
29,20
|
49,47
|
Hemiselulosa
|
22,65
|
37
|
Lignin
|
4,79
|
7,51
|
Sumber : Dami Dato (1998)
2.2.
Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Jamur Pleurotus ostreatus digolongkan ke dalam
kingdom: plantae , subkingdom: fallophyta, devisi: mycota, subdevisi: eucomycotina,
kelas: basidiomycetes, ordo: agaricales, family: tricholomeceae, genus: pleurotus,
spesies: Pleurotus ostreatus (Alexopolus,
1962 ; Chang & Miles, 1989 dikutip Jamin, 2004).
Jamur tiram
putih memiliki tudung berbentuk setengah lingkaran dengan bagian tengah agak
cekung berwarna putih hingga krem. Permukaan tubuh licin dengan diameter 5-20
cm, spora berbentuk batang berukuran 8-11×3-4 µm. Ciri-ciri jamur tiram putih
antara lain saprofit, berspora, berinti, tidak mempunyai klorofil, dan bersifat
simbiosis (http://id.wikipedia.org/wiki/Jamur_tiram).
Secara alami
jamur tiram putih butuh lingkungan dan nutrisi yang sesuai. Suhu, cahaya, tingkat
CO2, kelembaban dan aerasi mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu yang
dikehendaki berkisar antara 20-30oC , suhu untuk pertumbuhan
misellium 22oC sedangkan
cahaya yang dibutuhkan 20% (http://doitnow.ws/?p=65).
Kandungan
protein jamur tiram putih rata-rata 3,5-4% dari berat basah dan 19-35% dari
berat kering. Jamur ini merupakan jamur yang memecah karbon dan hidrogen dari
ikatan lignin secara enzimatis sehingga memudahkan penetrasi enzim selulosa. Terputusnya
ikatan antara komponen dinding sel ditandai dengan meningkatnya kelarutan masing-masing
komponen serat. Hal ini menurunkan persentase kandungan serat sehingga meningkatkan
kecernaaan karbohidrat pakan (Jamin, 2004).
Beberapa
keunggulan jamur tiram putih antara lain tidak bersifat toksik, bermanfaat
ganda, yakni dapat dijadikan pakan dan pangan, mudah tumbuh, penggunaannya
dalam biokonversi tidak membutuhkan biaya yamg mahal, mampu melonggarkan ikatan
lignin dari selulosa berkat enzim fenol-oksidase.
2.3.
Biokonversi Rumput Kume
Biokonversi merupakan
proses yang dilakukan oleh mikroorganisme untuk mengubah suatu senyawa menjadi
produk lain yang berguna dan memiliki nilai tambah (Hardjo dkk., 1989). Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, istilah biokonversi disama artikan dengan
fermentasi yaitu suatu proses perubahan kimia pada substrat melalui aksi enzim
yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Biokonversi bertujuan
untuk meningkatkan nilai nutrisi dan kecernaan rumput Kume kering dengan
bantuan mikroorganisme, misalnya dengan penambahan inokulum jamur, bakteri atau
enzim. Penambahan mikroorganisme bertujuan untuk mendegradasi lignoselulosa
yang merupakan komponen serat utama yang dapat menurunkan nilai cerna (Hadar et al,. 1993 yang dikutip Ghunu, 1998).
Keuntungan biokonversi
rumput Kume kering adalah untuk menurunkan kandungan lignoselulosa serta
meningkatkan nilai gizi dan kecernaan dari bahan tersebut. Keberhasilan biokonversi
dipengaruhi oleh jenis jamur, tingkat konsentrasi,
inokulum, pH, suhu, dan lama inkubasi (Rimbawanto, 1997). Biokonversi diarahkan
untuk pemecahan hidrogen.
2.4.
Komponen Serat
Berdasarkan
kelarutannya, Van Soest membagi komponen serat hijauan ke dalam 2 kelompok,
yakni: 1). isi sel (Neutral Detergen Soluble [NDS]) yang terdiri protein,
karbohidrat, mineral mudah larut, lemak,dan 2). dinding sel (Neutral Detergen
Fiber [NDF]) terdiri dari hemiselulosa dan (Acid Detergen Fiber [ADF] terdiri dari selulosa, lignin, dan
hemiselulosa dalam jumlah yang sedikit.
Hemiselulosa
merupakan polisakarida yang mengandung sejumlah besar rantai-rantai linear
xylose yang dihubungkan dengan ikatan β1-4 ditambah rantai-rantai yang terdiri
dari arabinosa, mannosa, galaktosa, dan glukosa. Mempunyai cabang ikatan dengan
arabinosa dan asam glukoronik yang lebih mudah larut dibanding pati tetapi
karena keterikatannya dengan lignin sehingga tidak mudah larut. Hemiselulosa
akan larut dalam larutan asam.
Selulosa
merupakan komponen terbesar pembentuk kerangka tanaman, termasuk dalam golongan
polisakarida. Paturau (1982) menyatakan bahwa selulosa umumnya bercampur dengan
lignin, pentosan, tannin, lemak dan bahan pewarna, dengan rumus empiris C6H10O5
.
Selulosa dan
lignin bila ditambahkan H2SO4 72%, maka yang akan larut
hanyalah selulosa sedangkan ligninnya
tidak larut. Hal ini disebabkan karena kecernaan ADF berkaitan erat dengan
lignoselulosa, dimana sebagian besar komponen ADF mengandung struktur dinding
sel. Ranjhan (1980) menyatakan bahwa daya cerna isi sel hijauan dapat mencapai
90-98% sedangkan daya cerna dinding sel kecil dan bervariasi tergantung proses
lignifikasi dengan komponen serat.
2.5.
Ternak Kambing (Capra aegagrus
hircus)
Kambing lokal (Capra aegagrus hircus) adalah spesies
dari kambing liar yang tersebar di Asia Barat Daya dan Eropa. Kambing diklasifikasikan
ke dalam filum: chordata, kelas: mammalia, ordo: artiodactyla, family: bovidae,
subfamili: caprinae, genus: capra, spesies: Capra aegagrus, sub spesies: Capra
aegagrus hircus (http://kambingindonesia.blogspot.com/2008/11/sejarah-kambing-kambing-lokal-capra.html).
Kambing telah
dibudidayakan manusia kira-kira 8.000-9.000 tahun yang lalu dengan makanan
utamanya adalah rerumputan dan dedaunan. Makanan merupakan faktor yang sangat
penting dalam proses pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, kesehatan ternak
dan hidup pokok (Tilman dkk ,, 1989). Namun, tidak semuanya memberikan hasil
yang optimal karena masing-masing bahan makanan memiliki kandungan nutrisinya sendiri.
Oleh karena itu,untuk menghasilkan hasil yang optimal, harus didukung dengan
pengetahuan yang mendalam tentang karakteristik pakan (Jelantik, 1999).
Bamualim (1998) menyatakan
bahwa kebutuhan pokok dan produksi ternak akan terpenuhi bila konsumsi hijauannya 74-94% , sedangkan Susetyo
dkk, (1969) menganjurkan pemberian hijauan pada ternak kambing ± 97% dari total
ransum.
BAB III
METODE PENULISAN
3.1. Metode
Metode yang
digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan, yakni
suatu kajian terhadap pustaka yang ada dengan mengumpulkan hasil-hasil
penelitian, data, pendapat dan pernyataan yang ada. Selanjutnya, diramu dengan
hasil diskusi bersama dosen pembimbing dan rekan mahasiswa sehingga diperoleh
informasi dan perkembangan tentang masalah-masalah yang dibahas sehingga
menghasilkan karya tulis ini.
3.2. Langkah-Langkah Penyusunan Karya
Ilmiah
Langkah-langkah
penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.
Merumuskan Masalah
Mengacu pada pernyataan bahwa potensi rumput kume kering “standing hay” yang belum dimanfaatkan
secara optimal atau belum adanya sentuhan bioteknologi, maka dibuatlah
pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran dan fokus permasalahan serta
sekaligus mengidentifikasi faktor-faktor penyebab masalah tersebut sehingga
dapat dicari solusi yang tepat untuk mengatasinya.
2.
Mencari Sumber-Sumber Informasi
Berdasarkan topik yang diangkat dan pertanyaan-pertanyaan yang disusun
maka dicari sumber informasi berupa data, pustaka, dan hasil-hasil penelitian serta
pernyataan-pernyataan yang terkait
dengan topik permasalahan.
3.
Mengolah dan Menganalisis Masalah
Informasi yang dikumpul kemudian diolah dan dikaji secara sistematis, sehingga akhirnya
penulis memunculkan ide penulisan
tentang “Kajian Nilai Guna Runput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih
Sebagai Pakan Kambing di Pulau Timor”. Ide munculnya penulisan ini sebenarnya
tergolong menarik bila dikaitkan dengan ketersediaan standing hay yang melimpah saat
musim kemarau.
4.
Membahas Permasalahan
Ide-ide yang dimunculkan tersebut dibahas untuk melihat keterkaitannya
dengan informasi dan permasalahan yang dihadapi, kemudian
dicari metode yang tepat sebagi
pemecah masalah.
5.
Penyusunan Karya Tulis
Setelah melewati semua tahapan di atas, selanjutnya disusun sebuah karya tulis
yang mengacu pada sistematika yang ditetapkan panitia LKTM tingkat Fakultas
Peternakan, Universitas Nusa Cendana Kupang, tahun 2009 dengan judul “Kajian
Nilai Guna Rumput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih Sebagai Pakan Kambing
di Pulau Timor”.
3.3. Kerangka Pemikiran
KENDALA
-.SDM rendah
-.belum adanya sentuhan bioteknologi
|
MASALAH
Kekurangan pakan di musim kemarau
|
SOLUSI
Perlu adanya sentuhan bioteknologi
Untuk meningkatkan nilai gizi pakan
|
DIHARAPKAN
Meningkatkan nilai guna rumput Kume
Hasil biokonversi jamur tiram putih
sebagai
Pakan kambing di Pulau Timor
|
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1.Prosedur Biokonversi Untuk Meningkatkan Kualitas Rumput Kume
Upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi rumput Kume dengan sentuhan bioteknologi
dapat dilakukan dengan empat metode pengolahan, yakni: a). secara fisik; merombak
struktur fisik dan mengurangi ukuran partikel substrat sehingga memudahkan
penetrasi enzim ke dalam substrat. Keuntungan dari pengolahan ini adalah
meningkatkan densitas pakan, meningkatkan konsumsi, mengurangi debu pakan, dan
mengurangi sisa pakan. Sedangkan kelemahannya adalah dapat menurukan kecernaan.
Hal ini akan terjadi bila ukuran partikel terlalu kecil maka laju pakan cepat, kontak
dengan enzim tidak lama sehingga nutrisi yang terserap sedikit. b). secara kimia;
untuk meningkatkan degradasi dinding sel yaitu melonggarkan ikatan
lignohemiselulosa dan lignoselulosa dengan lignin dengan menambahkan
bahan-bahan yang sifatnya alkalis seperti NaOH. Namun, hasil buangannya tidak
ramah lingkungan sehingga Dami Dato dkk (1998) mengusulkan agar digunakan filtrat
abu sekam padi. Keuntungan dari pengolahan kimia ini adalah dapat meningkatkan
kecernaan sedangkan kelemahannya adalah merusak ekosistem. c). secara fisik dan
kimia; bertujuan merombak struktur fisik dan memperluas permukaan material
substrat sehingga meningkatkan kecernaan, namun dengan penggunaan bahan kimia
dapat merusak ekosistem. d). secara biologis; dilakukan dengan penambahan
inokulum jamur yang bertujuan untuk mendegradasi komponen-komponen serat.
Keuntungan dari pengolahan secara biologi ini adalah meningkatkan kecernaan,
dan ramah lingkungan sedangkan kerugiannya adalah dapat merusak lingkungan
apabila populasi mikroorganisme di atas normal tetapi peluangnya kecil.
Prosedur
biokonversi rumput kume dapat dilihat pada gambar
1.
Rumput kume kering
|
Dicacah ± 3 cm
|
Bahan
aditif (%): dedak 105, air 66,33
gypsum
1,5, CaCO3 0,5, dan NPK 0,5
BIOKONVERSI
|
Pengemasan dalam Kantung Plastik (1 Kg)
|
Sterilisasi
Suhu 120oC, 1 atm, 2 jam
|
Didinginkan 12 jam
|
Inokulasi
Bibit jamur tiram putih 15 kg-1 substrat
|
Inkubasi
Suhu 22-24 oC, RH 80-90%,
waktu 40 hari
|
Substrat dibuka, dikeringkan ± 1 hari
dan diberikan pada ternak
|
Gambar 1. Diagram Alir Biokonversi Rumput
Kume dengan Jamur Tiram Putih.
Hasil
biokonversi yang dilaporkan oleh Ghunu (1998) bahwa proses biokonversi tidak
saja menurunkan komponen serat atau kandungan unsur-unsur karbohidrat
struktural, tetapi juga meningkatkan kadar protein (miselium jamur yang
menghasilkan protein), juga selulosa dan hemiselulosa yang mudah didegradasi
dengan pengolahan biokonversi rumput Kume yang akan menghasilkan pakan
berkualitas tinggi. Tetapi keberhasilan proses biokonversi ditentukan oleh
kondisi pertumbuhan dari mikroorganisme tersebut.
4.2.Tercernanya Rumput Kume Hasil Biokonversi pada
Ternak Kambing.
Pada penelitian
yang dilakukan oleh Jamin (2004), menunjukkan terjadinya peningkatan nilai
hemiselulosa tercerna akibat merenggang atau bahkan terputusnya ikatan
lignohemiselulosa karena terdegradasi oleh enzim hemiselulosa baik yang berasal
dari jamur tiram putih atau dari rumen ternak kambing itu sendiri, sehingga
hemiselulusa yang tadinya terikat dengan lignin menjadi hemiselulosa bebas dan
penetrasi enzim ke dalam substrat produk lebih mudah dan selanjutnya ketika
substrat tersebut dikonsumsi oleh ternak kambing maka aktivitas mikroba
pencerna hemiselulosa meningkat.
Tingginya nilai
hemiselulosa tercerna pada pemberian produk biokonversi karena adanya perbedaan
tingkat aktivitas dari pencernaan hemiselulosa dalam rumen. Pernyataan ini
dikuatkan dengan pernyataan Tarmidi (1999) yang mengemukakan bahwa enzim
endoglukanase dan silanase asal jamur tiram putih aktif mendegradasi selulosa
dan hemiselulosa sehingga nilai tercernanya menjadi lebih tinggi. Dengan meningkatnya
nilai hemiselulosa tercerna dalam produk biokonversi, maka hasil depolimerisasinya
menjadi glukosa dan maltose melalui
“efek karbohidrat” sebagai sumber energi menjadi semakin tinggi untuk kebutuhan
pertumbuhan mikrobial maupun induk semangnya (ternak kambing). Selain itu, Haryanto
(1989) dalam Jamin (2004) menyatakan bahwa ternak kambing lebih toleran
terhadap pakan dengan konsentrasi fraksi serat (hemiselulosa, selulosa, dan
lignin) yang tinggi.
Nilai selulosa tercerna pun menjadi tinggi seperti
pada hemiselulosa tercerna. Hal ini disebabkan
oleh aktivitas enzim yang dikeluarkan oleh jamur tiram putih telah mampu
mendegradasi lignoselulosa menjadi polimer-polimer yang lebih sederhana, karena
ikatan lignoselulosa substrat merenggang atau putus oleh aksi enzim selulase
dari jamur tiram putih. Aksi dari enzim ini mengakibatkan selulosa menjadi
bebas sehingga menjadi sumber energi potensial bagi ternak kambing yang
mengkonsumsi produk tersebut.
Pemecahan
selulosa oleh enzim selulase merupakan suatu proses pemecahan anhidroglukosa
menjadi molekul yang lebih kecil yaitu berupa oligosakarida, trisakarida, disakarida,
monosakarida, glukosa, CO2, dan air. Hasil akhir dari perombakan ini
adalah Volatil Fatty Acid (VFA) yakni
asam asetat, propionat dan butirat yang menjadi sumber energi bagi ternak
ruminansia (Jamin, 2004).
Meningkatnya
selulosa tercerna dari produk tersebut diduga karena kandungan selulosa dari produk
sudah menurun akibat meningkatnya konsentrasi enzim selulase yang dihasilkan oleh miselium jamur tiram
putih. Tarmidi (1999) mengemukakan bahwa enzim asal jamur tiram putih aktif
mendegradasi selulosa dan hemiselulosa sehingga nilai tercernanya menjadi lebih
tinggi. Melihat hal ini, maka nilai guna rumput kume hasil biokonversi mengunakan jamur tiram
putih memberikan kontribusi yang cukup
baik terhadap perbaikan nutrien dari rumput Kume kering. Oleh karena itu,produk
tersebut dapat direkomendasikan sebagai pakan alternatif untuk ternak
ruminansia khususnya ternak kambing.
BAB V
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Terjadinya
peningkatan nilai guna dari rumput Kume kering setelah di biokonversi secara
biologis menggunakan jamur tiram putih.
B.SARAN
Disarankan agar
rumput Kume hasil biokonversi jamur tiram putih dapat digunakan sebagai pakan
kambing.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A.B.
1998. Prinsip-Prinsip dalam Pemberian Makanan Ternak Sapi. Dalam Prinsip Produksi
dan Metode Penelitian Peternakan. Materi Kursus 11-12 Januari. Sub Balai
Penelitian Ternak Lili. Kupang
Dami Dato, T.O.
1998. Pengolahan Rumput Sorghum plumosum
var.Timorense Kering dengan Filtrat
Abu Sekam Padi (FASP) terhadap Perubahan Komponen Serat dan Kecernaannya Secara
In Vitro. Bandung: Universitas Padjajaran.
Ghunu, S. 1998. Efek
Dosis Inokulum dan Lama Biokonversi Ampas Tahu sebagai Bahan Pakan oleh Jamur
Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
terhadap Kandungan Serat Kasar, Protein Kasar, Energi dapat Dicerna pada Domba.
Bandung: Universitas Padjajaran.
Hardjo, dkk.
1989. Biokonversi Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bahan pengajaran.
Penelaah: S. Fardiaz. Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar
Universitas (PAU) Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jamin. 2004.
Kecernaan Komponen Serat Rumput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram Putih pada
Ternak Kambing Jantan. Kupang: Fapet UNDANA.
Jelantik, I. G.
N. 1999. Konsumsi Pakan Ternak Ruminansia. Bahan Bacaan Penunjang Mata Kuliah
Pengetahuan Bahan Makanan Ternak Ruminansia. Fapet, UNDANA. Kupang.
Katipana, N. G.
F. 1992. Studi Kebuntingan dari Kambing Bunting Tunggal dan Kembar Selama Fase
Akhir Kebuntingan. Laporan Penelitian, Fapet UNDANA. Kupang.
Murtidjo, B. A. 1993.
Memelihara Ternak Kambing sebagai Ternak Potong dan Perah. Yogyakarta:
Kanisius.
Paturau, I. M.
1982. By Product of the Cane Sugar Industry. An Introduction to Their
Industrial Utilization. Elsevier
Scientific Publishing Co.,Amsterdam – Oxford, New York. Sugar Series.
Ranjhan, S. K.
1980. Animal Nutrition in the Tropics. Vikas Publishing House Ltd. New Delhi,
India PP 53-85.
Rimbawanto, F.
A. 1997. Pengaruh Jenis Kapang dan Tingkat Konsentrasi Inokulum terhadap Nilai
Gizi Kimia dan Nilai Gizi Biologis (In Vitro) Onggok Terfermentasi. Bandung:
Universitas Padjajaran.
Susetyo, dkk.
1969. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Peternakan Rakyat, Dirjen Peternakan,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Tarmidi, A. R.
1999. Pengaruh Proses Biokonversi Jamur Tiram Putih Terhadap Nilai Nutrisi Dan
Pemanfaatannya Sebagai Campuran Ransum Domba Priangan. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Tillman, dkk.
1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: UGM press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar